Kisah Menyentuh dari Kalimantan di Busan International Film Festival 2024 – Film Tale of the Land, yang disutradarai oleh Loeloe Hendra, berhasil mencuri perhatian dalam pemutaran perdananya di Busan International Film Festival (BIFF) 2024. Pemutaran film ini berlangsung di Busan Cinema Center pada Jumat, 4 Oktober 2024. Sambutan penonton Korea terhadap karya ini sangat meriah, terlihat dari antusiasme mereka dalam sesi tanya jawab. Berbagai pertanyaan kritis dilontarkan kepada sutradara dan para pemain, menunjukkan betapa film ini berhasil menyentuh hati mereka. Simak artikel Lampungnews.id berikut ini.
Daftar isi
Emosi Loeloe Hendra di Sesi Tanya Jawab
Momen paling emosional terjadi saat Loeloe Hendra, sutradara berambut gondrong ini, tak mampu membendung air matanya saat sesi tanya jawab. Tangisnya pecah ketika ia berbagi cerita pribadi di balik Tale of the Land. Film ini begitu personal baginya karena terinspirasi dari kisah masa kecilnya saat tinggal di Kalimantan bersama kakeknya. Loeloe, yang berasal dari Jawa, pindah ke Kalimantan sebagai pendatang dan sering mendengar berbagai dongeng dari sang kakek.
Kisah Orang Dayak dan Perubahan Pemikiran
Salah satu tema utama dalam film ini adalah kompleksitas identitas masyarakat Dayak, penduduk asli Kalimantan. Ketika masih kecil, Loeloe memiliki pandangan negatif terhadap orang Dayak, sebuah stereotip yang ia sadari kemudian hanya hasil framing dari orang luar. Namun, pandangan ini berubah seiring berjalannya waktu, terutama setelah Loeloe lulus kuliah dan mulai membuat film-film pendek tentang masyarakat Dayak.
“Saya pernah buat film tentang anak laki-laki yang mencari identitas. Dari situ, saya sadar tentang kompleksitas masyarakat Kalimantan,” ujar Loeloe. Ia menyinggung masalah besar yang dihadapi masyarakat asli Kalimantan, yaitu ketidakmampuan mereka untuk hidup leluasa di tanah kelahiran mereka sendiri karena berbagai konflik, termasuk penggundulan hutan dan perampasan tanah oleh pihak luar.
Sinopsis Film Tale of the Land
Tale of the Land sendiri berkisah tentang trauma seorang gadis Dayak bernama May, yang diperankan oleh Shenina Cinnamon. Trauma ini muncul akibat kematian orang tuanya dalam konflik tanah, yang membuat May tidak bisa lagi menginjakkan kakinya ke tanah. Karena rasa traumanya, ia memilih tinggal di rumah apung bersama kakeknya, Tuha, yang diperankan oleh Arswendy Bening Swara.
Kisah ini membawa penonton ke dalam kompleksitas masalah yang dihadapi masyarakat asli Kalimantan, menggambarkan trauma dan penderitaan mereka akibat perampasan tanah leluhur. Film ini mengangkat tema yang kuat tentang identitas, kehilangan, dan perjuangan untuk bertahan hidup di tengah konflik yang terjadi di Kalimantan.
Pesan Kuat di Balik Tale of the Land
Melalui Tale of the Land, Loeloe Hendra ingin menyampaikan pesan tentang pentingnya menghargai identitas dan hak-hak masyarakat asli Kalimantan. Film ini bukan hanya sekadar cerita fiksi, tetapi juga sebuah cermin bagi realitas yang dialami oleh masyarakat Dayak. Lewat cerita May dan kakeknya, penonton diajak merenungkan tentang dampak dari penggundulan hutan, pengambilalihan tanah, dan dampak sosial yang dirasakan oleh masyarakat setempat.
Tak heran, pemutaran perdana film ini di Busan International Film Festival 2024 disambut dengan tepuk tangan meriah, baik sebagai penghargaan terhadap karya seni yang mendalam maupun sebagai bentuk dukungan terhadap isu yang diangkat oleh Loeloe Hendra. Kisah Menyentuh dari Kalimantan di Busan International Film Festival 2024.
Kesimpulan
Tale of the Land bukan hanya sebuah film, tetapi juga sebuah pesan kuat tentang kompleksitas identitas dan perjuangan masyarakat Kalimantan. Pemutaran perdananya di Busan International Film Festival 2024 membuktikan bahwa karya ini mampu menyentuh hati banyak orang, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di kancah internasional. Loeloe Hendra, melalui karyanya, berhasil menggambarkan realitas pahit yang dihadapi masyarakat Dayak, mengajak penonton untuk lebih peka terhadap isu-isu sosial dan lingkungan di tanah Kalimantan.